Dokter Terduga Teroris di Tembak Mati, Bagaimana Perlindungan Hukumnya?
Profesi Dokter merupakan salah satu profesi yang sangat dihormati dan dikagumi. Hal ini mengingat tanggungjawab yang dibebankan kepada seorang dokter sangatlah besar. Menurut Pasal 1 angka 1 jo Pasal 11 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, menyebutkan bahwasannya dokter bagian dari tenaga kesehatan yang merupakan: “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka tidak berlebihanlah jika dikatakan profesi Dokter sangat berjasa atas kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan Dunia. Atas dasar itu, maka sudah sepantasnya seorang dokter memang harus dilindungi secara hukum dari tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak-hak kemanusiaannya, baik dikarenakan profesi yang diembannya maupun dikarenakan hak yang melekat terhadap dirinya sebagai seorang manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, tepat pada hari Rabu, 09 Maret 2022, dunia kedokteran berduka dan digemparkan dengan adanya berita seorang dokter bernama Dokter Sunardi telah meninggal dunia setelah sebelumnya dr. Sunardi terkena tembakan di bagian punggung dan akhirnya meninggal dunia. Dikutip dari beberapa media, salah satunya Solopos.Com, bahwa Tim Densus 88 Antiteror Polri menembak mati terduga teroris, Sunardi di Sukoharjo, Jawa Tengah karena disebut melakukan perlawanan kepada petugas pada saat akan ditangkap. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan menyebutkan Sunardi melakukan penyerangan terhadap petugas saat penegakan hukum dengan menabrakkan mobilnya ke arah petugas, hal itu disebutkan Ramadhan dalam konfrensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 10 Maret 2022.
Menurut keterangan pihak Kepolisian penangkapan terhadap dr. Sunardi terjadi pada hari Rabu, 09 Maret 2022 di Jalan Bekonang Sukoharjo depan Cendana Oli, Jawa Tengah, ketika yang bersangkutan sedang berkendara pulang dari tempatnya bekerja. Masih menurut pihak Kepolisian, dalam penangkapan petugas naik di belakang mobil double cabin yang dikemudikan Sunardi, lalu mencoba memberikan peringatan. Namun dr. Sunardi tetap menjalankan mobilnya dan melaju dengan kencang serta membawa mobil ke kanan dan ke kiri atau zig-zag dengan tujuan menjatuhkan petugas. Karena dianggap membahayakan petugas, akhirnya petugas melakukan upaya paksa dengan melumpuhkan dr. Sunardi. Menurut Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan, upaya paksa tersebut akhirnya mengenai punggung atas dan bagian pinggul kanan bawah dari dr. Sunardi. Dengan adanya penembakan dari Densus 88 tersebut, akhirnya dr. Sunardi dinyatakan meninggal dunia. Penangkapan dr. Sunardi dilakukan oleh Densus 88 karena dr. Sunardi diduga merupakan anggota jaringan teroris kelompok Jamaan Islamiyah (JI).
Kejadian tersebut memberikan rasa duka yang mendalam bagi pihak keluarga, termasuk pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sukoharjo. Dokter Sunardi tercatat sebagai salah satu anggota IDI Sukoharjo. Sebagai dokter, Almarhum dr. Sunardi dikenal menjalankan profesinya sebagai dokter dengan baik, selain dari pada itu juga di lingkungannya beliau terkenal sebagai jiwa sosialnya. Dokter Sunardi juga merupakan seorang aktifis kemanusiaan di lembaga Hilal Ahmar Society (HASI). Dokter Sunardi juga pernah tercatat sebagai dokter pemerintah saat konflik Ambon, aktif mengirim bantuan ke daerah bencana, seperti Gempa Sumatera Barat, Tsunami Aceh, Suriah dan lain sebagainya.
Tentu tidak menjadi alasan atas semua kebaikan yang telah dilakukan oleh dr. Sunardi semasa hidupnya, jika memang terbukti yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diduga oleh Densus 88 Antiteror Polri. Namun ketika Densus 88 melakukan tindakan seperti penangkapan kepada seorang pelaku tindak pidana (bahkan masih dalam status terduga bukan tersangka ataupun terdakwa) sudah sepantasnya para penegak hukum pada saat melakukan tugasnya harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum KUHAP butir ke-3 huruf c, yang menyebutkan: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Memang pihak Kepolisian diberikan wewenang berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penangkapan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Namun upaya paksa yang dilakukan pihak kepolisian tersebut (ic. Densus 88) harus tetap berdasarkan prosedur yang berlaku, setidak-tidaknya sesuai dengan ketentuan Pasal 18 KUHAP, yang menyatakan: “Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”. Dikaitkan dengan kasus penangkapan dr. Sunardi oleh Densus 88 Antiteror Polri pada hari Rabu, 09 Maret 2022, menjadi pertanyaan apakah pada saat penangkapan pihak Densus 88 telah menjalankan prosedur sebagaimana Pasal 18 KUHAP tersebut? Hal ini mengingat penangkapan tersebut dilakukan sesaat setelah Almarhum dr. Sunardi pulang dari tempatnya bekerja, dengan kata lain pada saat itu dr. Sunardi tidak dalam keadaan tertangkap tangan atas tindak pidana yang didugakan terhadapnya. Selain itu menjadi pertanyaan menarik pula, dikarenakan tindakan penangkapan oleh Densus 88 kepada dr. Sunardi, diwarnai dengan penembakan hingga akhirnya dr. Sunardi meninggal dunia, apakah yang menjadi dasar hukum kuat Densus 88 melakukan hal tersebut? Sedangkan dr. Sunardi masih dalam status hukum “terduga” bukanlah “tersangka”, “terdakwa”, apalagi “terpidana”. Jika dikatakan tindakan penembakan tersebut telah dilakukan dengan cara “terukur dan terarah”, maka hal tersebut perlu terlebih dahulu dibuktikan secara hukum, bukan dengan pernyataan sepihak dari instansi terkait. Karena jika hal tersebut tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat berpotensi dianggap sebagai “arogansi penegakan hukum”.
Penghilangan nyawa seseorang pada dasarnya dilarang di Negara Hukum seperti Indonesia, terkecuali apabila telah diperbolehkan atau dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika penghilangan nyawa seseorang tersebut terbukti melanggar ketentuan norma yang ada, maka berpotensi melanggara Hak Asasi Manusia yang paling dasar yaitu ialah HAK UNTUK HIDUP. Sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Apabila benar dr. Sunardi telah terbukti secara sah dan meyakinkan melalui pemeriksaan Pengadilan yang layak dan telah memiliki putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), terbukti sebagai pelaku tindak pidana Terorisme sebagaimana dituduhkan dan dijatuhi sanksi pidana mati. Penerapan sanksi pidana mati kepada pelaku tersebut juga tentu tidak bisa sembarangan, harus melalui tahapan-tahapan dan prosedur hukum tertentu yang berlaku. Dengan kata lain hal apapun tindak tanduk penegakan hukum di Indonesia haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang ada, jika tidak maka kekuasaan yang ada pada penegak hukum tersebut akan menjadi Tirani kekuasaan, dan tak terbatas (absolute). Jika demikian maka akan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Tindakan penegak hukum yang melakukan penembakan kepada dr. Sunardo sebagai orang yang masih berstatus sebagai “terduga teroris” merupakan salah satu tindakan yang dapat menciderai proses hukum yang ada. Hal ini tentu bertentangan konstitusi Negara Republik Indonesia pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan kata lain seluruh tindak tanduk penegak hukum harus berdasarkan landasan hukum yang ada, dan landasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang ada di atasnya. Hal ini juga berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana, termasuk dalam hal ini dr. Sunardi yang diduga melakukan tindak pidana Terorisme, sudah sepantasnya untuk menjatuhi sanksi pidana terhadap tuduhan tersebut harus melalui proses peradilan pidana yang layak. Karena sejatinya konstitusi menjamin semua orang berkedudukan sama dimata hukum, sesuai asas Equality Before The Law, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengungkapkan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sudah sepantasnya tidak ada satupun instansi atau lembaga di Indonesia yang diperbolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan di luar hukum, yang berpotensi melanggar asas ini, sehingga sudah selayaknya pula para penegak hukum sadar bahwa jika memang terdapat seseorang pelaku tindak pidana apalagi masih berstatus terduga teroris, terlebih dahulu harus dibuktikan secara hukum dan tidak boleh dilakukan tindakan yang dapat mengabaikan hak untuk membela diri di suatu persidangan yang layak.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan kembali bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Mengacu pada ketentuan konstitusi tersebut, maka siapapun termasuk dr. Sunardi berhak untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlaku yang sama dihadapan hukum, namun tentu hal itu tidak didapatkan oleh dr. Sunardi dikarenakan secara subjek hukum, beliau telah dinyatakan meninggal dunia. Maka untuk itu, bukan berarti hak-hak dari dr. Sunardi dapat diabaikan, dalam artian untuk menjaga citra lembaga kepolisian yang baik di mata masyarakat dan juga menjamin ditegakkannya asas equality before the law, seharusnya pihak Densus 88 Antiteror Polri yang melakukan penembakan kepada dr. Sunardi diperiksa baik secara kode etik kepolisian maupun secara hukum yang berlaku. Terlepas adanya pernyataan tindakan kepada dr. Sunardi telah dilakukan “sesuai prosedur dan terukur”, namun tentu hal tersebut terlebih dahulu harus dibuktikan sesuai hukum yang berlaku, karena Indonesia adalah Negara HUKUM, agar terciptanya keadilan dalam hal penegakan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Termasuk menjamin adanya perlindungan hukum yang diamanatkan konstitusi UUD 1945, atas hak-hak yang harusnya diterima oleh Almarhum dr. Sunardi, sebagai subjek hukum yang masih berstatus “TERDUGA”.
sumber : https://fahum.umsu.ac.id/10364-2/
Thanks sir,
BalasHapusThis is so very excited for me.
thanks